Direktur
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham,
Nasrudin,mengatakan Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan (PP PBI) sudah selaras dengan UU SJSN.
Pasalnya, pembentukan PP PBI sudah mengacu UU SJSN yang mengamanatkan
agar dibentuk peraturan tersendiri yang mengatur siapa peserta PBI itu.
Misalnya,
ada ketentuan di PP PBI yang menyebut BPJS sebagai badan
hukum.Menurutnya itu sudah sesuai dengan perintah UU SJSN. Walau dia
mengetahui di pasal 7 ayat (1) UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS menyebut BPJS berstatus badan hukum publik, menurutnya tak ada masalah dengan PP PBI.
Nasrudin
mengatakan, mengacu peraturan perundang-undangan,PP tak boleh mengubah
defenisi dari UU utama yang memerintahkan pembentukan PP itu. Mengingat
UU utama yang dimaksud adalah UU SJSN, maka PP PBI hanya menjelaskan
bahwa BPJS itu sebagai badan hukum.
Berbeda
bilaamanatpembentukanPP PBI berasal dari UU BPJS, maka ketentuan yang
menyebut bahwa BPJS adalah badan hukum publik, bakal dimasukkan. Namun,
faktanya PP PBI diperintahkan oleh pasal 17 ayat (6) dan pasal 14 ayat
(3) UU SJSN.
Walau
begitu, Nasrudin menegaskan, bukan berarti BPJS dapat diartikan lain di
luar badan hukum publik karena hal itu sudah jelas dalam UU BPJS. Hal
serupa menurutnya juga berlaku untuk Peraturan Presiden (Perpres) No.12 tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan (Jamkes). “Artinya, BPJS otomatis badan hukum publik,
jadi tidak usah disebut lagi sebagai badan hukum publik (di PP
PBI,-red),” kata dia kepada hukumonline di ruang kerjanya di Jakarta, Selasa (19/3).
Terpisah,
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali Husni Situmorang,
menguraikan secara umum PP PBI dan Perpres Jamkes tak masalah. Namun,
perlu diperhatikan perkembangan yang muncul di masyarakat terkait
terbitnya kedua peraturan pelaksana untuk BPJS itu. Chazali mengatakan
ada polemik di tengah masyarakat, khsususnya serikat pekerja karena
status BPJS sebagai badan hukum publik tak termaktub di dua regulasi
itu.
Walau
menyebut tak ada masalah, Chazali menekankan kedua peraturan itu harus
disempurnakan dengan mencantumkan ketentuan yang menjelaskan bahwa BPJS
berstatus badan hukum publik. Selain meredam polemik yang ada,
penyempurnaan itu juga dapat meminimalisir potensi perbedaan tafsir.
“Harus disebutkan dengan jelas sebagai badan hukum publik,” katanya
kepada hukumonline lewat telepon, Selasa (19/3).
Sementara,
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan serikat
pekerja menginginkan agar peraturan pelaksana BPJS menyebutkan secara
tegas bahwa BPJS berstatus badan hukum publik. Jika hal itu tak
dilakukan, dia khawatir bakal menghambat pelaksanaan BPJS. Timboel
berpendapat, mestinya kedua peraturan itu konsisten dengan UU BPJS.
Sampai saat ini Timboel melihat pemerintah masih enggan memperbaiki
peraturan itu. “Jika BPJS itu badan hukum publik, maka peraturan
pelaksana BPJS juga harus menyebut badan hukum publik,” tegasnya.
Terkait berapa jumlah peserta PBI, Nasrudin mengatakan mengacu PP PBI yang digunakan adalah data yang sudah ada yaitu Program Perlindungan Sosial tahun 2011. Menurutnya, dalam data itu Kementerian Sosial (Kemensos) telah menetapkan kriteria fakir miskin dan orang tak mampu serta telah diproses oleh BPS. Jika menggunakan data baru, Nasrudin berpendapat membutuhkan waktu lama bagi BPS untuk memprosesnya untuk mendapatkan jumlah fakir miskin.
Mengingat
BPJS, khususnya kesehatan, akan beroperasi tahun depan, maka data 2011
yang digunakan. Ke depan, ketika BPJS sudah beroperasi, maka jumlah
peserta PBI dapat berubah. Sedangkan kementerian yang punya kewenangan
untuk menetapkan jumlah peserta PBI itu adalah Kemensos berkoordinasi
dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun
yang pasti, Nasrudin melanjutkan, jumlah peserta PBI itu antar
kementerian terkait harus mengacu pada data yang sama dan tiap
kementerian menjalankan perannya untuk BPJS sesuai kewenangannya
masing-masing. Misalnya, Kemensos, menentukan berapa jumlah peserta PBI
dan Kemenkeu menentukan berapa besaran iurannya serta anggaran yang
dikucurkan.
Menyoal
data peserta PBI, Chazali mengatakan itu kewenangan Kemensos setelah
berkoordinasi dengan Kemenkeu. Setelah itu, akan terbit peraturan khusus
yang menetapkan berapa jumlah peserta PBI. Namun, Kemensos dan Kemenkeu
tak boleh menetapkan jumlah peserta PBI itu secara sepihak, harus
melalui koordinasi antar kedua lembaga tersebut.
Sampai
saat ini Chazali mengatakan belum ditemukan kesepakatan berapa jumlah
peserta PBI. Tapi, DJSN mendorong agar hal itu segera diputuskan.
Chazali menerangkan, DJSN tak bisa mengeksekusi untuk menerbitkan aturan
tentang berapa jumlah peserta PBI dan iurannya. Sebelumnya, DJSN
menawarkan agar jumlah peserta PBI sebanyak 96,7juta orang dengan iuran
Rp22.200 per orang tiap bulan. Sayangnya, Kemenkeu menolak usulan itu.
sumber kutipan : www.hukumonline.com/
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !