1. Wawasan
atau Paradigma Hukum:
Dalam Negara Hukum
segala sesuatu dalam dinamika kehidupan kenegaraan haruslah didasarkan atas
hukum sebagai pegangan tertinggi. Ketika UUD 1945 disusun, wawasan Negara Hukum(Rechtsstaat)
mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945.
Harus diakui bahwa cita-cita ideal Negara Hukum itu tidak mudah diterapkan.
Di masa pemerintahan
Presiden Soekarno sejak tahun 1945 sampai tahun 1967, yang dianggap panglima
yang sesungguhnya dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia adalah
politik, bukan hukum. Dari sinilah dikenal adanya istilah politik sebagai
panglima. Sebaliknya, di masa pemerintahan Presiden Soeharto sejak tahun 1967
sampai tahun 1998, yang dianggap sebagai panglima adalah ekonomi. Semua
keputusan seakan diabdikan untuk kepentingan pembangunan ekonomi, khususnya
kepentingan untuk membangun pertumbuhan ekonomi nasional.
Karena itu, ketika
kita memasuki era reformasi terbukalah peluang bagi bangsa kita untuk mengubah
paradigma pembangunan nasional dan wawasan penyelenggaraan negara dari
berparadigma politik dan ekonomi pada masa sebelumnya menjadi berparadigma
hukum. Dalam rangka reformasi ke arah perwujudan cita-cita negara yang berparadigma
atau berwawasan hukum itu, hukum dan sistem hukum itu sendiri juga perlu
direformasi terlebih dulu.
Sebagaimana menjadi
jargon dalam gerakan reformasi pada tahun 1998 itu, ialah perlunya dilakukan
tindakan reformasi yang simultan, yaitu reformasi politik, reformasi ekonomi,
dan reformasi hukum. Bahkan, dalam kenyataannya, reformasi hukum itulah yang
bersifat instrumental dalam rangka perwujudan gagasan reformasi politik dan
ekonomi secara sekaligus. Artinya, langkah-langkah dan upaya-upaya reformasi yang
dilakukan di bidang politik dan ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam
bentuk-bentuk norma aturan hukum yang baru, sehingga gagasan perbaikan yang
dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam bentuk hukum yang dapat dijadikan
pegangan normative di masa depan.
2. Desain
Makro Kebijakan Hukum:
Dalam rangka
pembangunan nasional yang berparadigma atau berwawasan Hukum dan Negara Hukum,
perlu disusun suatu desain makro yang tidak hanya menjadikan hukum sebagai satu
bidang pembangunan saja ataupun apalagi hanya satu sector dalam kerangka
pembangunan nasional yang menyeluruh. Kepala Negara Republik Indonesia secara
simbolik adalah Undang-Undang Dasar yang sekaligus berfungsi menjadi semacam ‘kitab
suci’ dari ‘syar’at bernegara’ (civil religion)
bagi segenap warga negara. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum dan pemerintahan. Bahkan semua manusia dijamin kemerdekaannya
memiliki dan menggunakan hak-hak asasinya masing-masing.
Semua perbuatan atau
kegiatan warga negara yang berkenaan dengan negara dan masalah-masalah
kenegaraan harus dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang pada
pokoknya ditujukan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan bernegara. Tidak ada
institusi apapun yang memiliki kekuasaan apapun dalam negara Indonesia yang
tidak terbatas dan dibatasi. Tidak ada dan tidak boleh ada peraturan
perundang-undangan apapun yang ditetapkan secara sewenang-wenang tanpa prosedur
demokrasi, tanpa pembatasan dan pengawasan, termasuk keterbukaannya untuk
dikontrol secara demokratis oleh masyarakat luas. Dalam negara hukum Indonesia,
sistem peradilan bekerja secara independent dan tidak memihak, dan bagi setiap
warga negara yang dirugikan oleh keputusan pejabat administrasi negara terbuka
peluang yang adil untuk menuntut keadilan melalui peradilan tata usaha negara
yang juga independent dan tidak memihak, kecuali kepada kebenaran dan keadilan
itu sendiri.
3. Wawasan
Kepemimpinan Hukum:
Dari norma-norma
tersebut di atas, yang pertama-tama penting disadari adalah
bahwa dalam negara hukum Republik Indonesia, yang sesungguhnya menjadi pemimpin
tertinggi adalah konstitusi, yaitu UUD, sesuai prinsip ‘the rule of
law, and not of man’. Kedua,konstitusi dan norma-norma hukum
yang berada di bawahnya terjalin sebagai satu kesatuan sistem syari’at
kenegaraan bagi setiap warga negara, yang menjadikan setiap warga negara
bersamaan kedudukannya, hak dan kewajibannya di hadapan hukum dan ‘pemerintahan’. Ketiga, semua
tindakan dan kebijakan pemerintahan, termasuk kebijakan pembangunan nasional
haruslah didasarkan atas aturan hukum yang telah ditetapkan lebih dulu sesuai
dengan asas legalitas. Hal ini tidak perlu menyebabkan proses pemerintahan
mengabaikan pentingnya ‘mission driven’, karena pada hakikatnya hukum
itu sendiri justru dimaksudkan untuk berfungsi instrumental terhadap upaya
perwujudan missi yang diemban itu.
4. Pembangunan
Sistem Hukum:
Dengan paradigma yang
demikian itu, pembangunan nasional Indonesia dalam arti pembangunan hukum
nasional mencakup komponen pembangunan ‘structural-institutional’,
komponen pembangunan ‘cultural-behavioral’, dan pembangunan hukum
instrumental yang menyangkut materi hukum nasional. Ketiga komponen pembangunan
hukum tersebut berlaku, baik dalam kerangka fungsi-fungsi legislasi,
administrasi, maupun fungsi judicial.
Dalam ketiga fungsi
itu, masing-masing terkait adanya institusi-institusi hukum, adanya unsur
subjek hukum pendukungnya, dan instumen normative yang mengaturnya. Dalam arti
yang lebih sempit, instrument peraturan perundang-undangan itu sendiri terkait
pula dengan kegiatan pembuatannya (law making), kegiatan
pemasyarakatannya (law promulgation and law socialisation), dan kegiatan
penegakannya (law enforcement) yang di dalamnya juga terkait dengan
elemen institusionalnya, elemen manusianya, dan elemen-elemen proseduralnya.
Untuk menunjang
keseluruhan fungsi dan aktifitas terkait dengan hukum itu diperlukan (a) makro
desain kebijakan pembangunan hukum nasional yang menyeluruh, dan (b) pusat
administrasi informasi hukum yang terpadu yang mencakup informasi berkenaan
dengan peraturan (regelen), penetapan administrasi negara (beschikkingen),
dan putusan-putusan peradilan (vonis), serta putusan-putusan
penyelesaian sengketa lain, seperti arbitrase dan ‘despute desolution’ lainnya.
Sistem informasi terpadu tersebut diharapkan dapat pula mencakup kebutuhan baik
untuk tingkat pusat maupun sampai ke tingkat daerah dan bahkan tingkat desa di
seluruh
Indonesia.
Pemahaman kita
tentang sistem hukum nasional juga perlu diperluas sehingga mencakup pengertian
yang lebih menyeluruh. Sistem hukum dapat dikaitkan dengan pengertian atau
dilihat dari cabang kekuasaan, dan dapat pula dari proses kegiatannya.
Dari segi cabang
kekuasaannya, sistem hukum itu mencakup:
a. Kekuasaan legislative
(legislative power), yaitu cabang kekuasaan yang menentukan arah
kebijakan pemerintahan dan menetapkan peraturan perundang-undangan pada
tingkatan tertentu, yaitu biasanya dalam bentuk Undang-Undang Dasar dan
Undang-Undang.
b. Kekuasaan eksekutif (executive
branch), yaitu cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan dan
melaksanakan arahan-arahan yang ditentukan oleh atau berdasarkan UUD dan UU;
c. Kekuasaan judikatif
atau judicial (judiciary)., yaitu cabang kekuasaan yang menguji
materi peraturan dan menilai pelaksanaan undang-undang serta mengadili
perkara-perkara pelanggaran hukum pada umumnya.
Dari segi lain
(proses kegiatannya), sistem hukum nasional itu juga meliputi fungsi-fungsi
atau kegiatan-kegiatan:
a. Pembuatan hukum (law
making), yaitu menyangkut kegiatan-kegiatan penelitian, perencanaan,
pengkajian, perancangan, pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan menjadi
peraturan resmi.
b. Pengadministrasian
hukum (the administration of law), yaitu menyangkut kegiatan
pengadministrasian dalam arti sempit berupa penomeran, penerbitan, pengumuman,
dan pendokumentasian ataupun dalam arti luas mencakup pelaksanaan atau
penerapan hukum dalam praktek penyelenggaraan negara. Dalam pengertiannya yang
sempit, misalnya, dapat dipertanyakan sejauhmana produk-produk peraturan
perundang-undangan, keputusan-keputusan pejabat administrasi negara, dan vonis-vonis
hakim mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia
telah terdokumentasikan dengan baik, tentu masih menjadi tanya tanya besar.
c. Pemasyarakatan hukum
(the socialization and promulgation of law), yaitu menyangkut kegiatan
penyebarluasan dan pemasyarakatan infomasi peraturan perundang-undangan.
Meskipun dalam ilmu
hukum dikenal adanya teori fiktie yang menentukan bahwa pada saat suatu
peraturan diundangkan maka pada waktu yang bersamaan semua orang sudah dianggap
tahu hukum. Padahal dalam kenyataannya, apalagi di lingkungan negara sebesar
dan seberagam dengan tingkat perkembangan yang tidak merata seperti Indonesia, teori
fiktie itu hanyalah teori hayalan.
Untuk mengatasi
kelemahannya itulah diperlukan langkah-langkah bersengaja untuk memasyarakatkan
segala peraturan perundang-undangan dengan sungguh-sungguh.
d. Penegakan hukum (the
enforcement of law), yaitu menyangkut kegiatan pengawasan terhadap
penyimpangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penghakiman, dan pemidanaan
atau penetapan vonis oleh hakim, serta kegiatan eksekusi putusan, dan kegiatan
pemasyarakatan kembali (resosialisasi).
Keempat kegiatan itu
ada di tingkat pusat dan ada pula di daerah. Bahkan, dalam rangka pembudayaan
hukum dan tradisi taat hukum, keseluruhan kegiatan itu juga harus dilihat dalam
konteks kehidupan di lapisan pedesaan atau masyarakat desa yang berdasarkan
konsepsi UU No. 22/1999 disebut sebagai ‘self governing communities’.
Dengan demikian,
semua kegiatan tersebut di atas dapat dilihat, baik pada tingkat pusat,
daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta tingkat desa, Dalam ketiga
cabang kekuasaan dan tiga jenis kegiatan hukum tersebut serta di tiap tingkatan
pusat, daerah dan desa tersebut di atas, terkait adanya tiga elemen sistem
hukum sekaligus, yaitu:
a. Institusi hukum;
b. Tradisi dan Kultur
Hukum;
c. Perangkat
Instrumental Materi Normatifnya berupa peraturan tertulis ataupun peraturan
tidak tertulis.
5. Tiga
Jenis Putusan Hukum
Dari apa yang
diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa apa yang kita kenal dengan istilah
hukum dan sistem hukum itu sendiri sebenarnya sangatlah luas cakupan
pengertiannya. Jika hukum dimengerti hanya sebagai perangkat peraturan yang
bersifat tertulis, maka pengertian demikian jelaslah merupakan pengertian yang
paling sempit dari kata hukum itu.
Dalam arti yang tidak
terlalu luas, tetapi dalam bentuknya yang paling nyata apa yang kita kenal
dengan sebutan hukum itu sebenarnya menyangkut tiga jenis putusan hukum, yaitu:
a. Bentuk
peraturan yang berisi materi aturan sebagai hasil kegiatan pengaturan terhadap
kepentingan umum (regels). Biasanya bentuk seperti inilah yang tepat
disebut sebagai peraturan perundang-undangan.
b. Bentuk
keputusan-keputusan pejabat-pejabat administrasi negara berupa keputusan (beschikkingen)
yang tidak bersifat mengatur, tetapi mengandung konsekwensi hak dan kewajiban
dalam lalu lintas hukum. Inilah yang biasa disebut dengan surat-surat
keputusan, misalnya mulai dari Keputusan Presiden sampai Keputusan Bupati
ataupun Walikota.
c. Bentuk putusan hakim
yang biasa disebut vonis ataupun putusan-putusan arbitrase yang apabila telah
mempunyai kedudukan hukum yang tetap (in kracht) wajib dilaksanakan
sebagaimana mestinya, misalnya putusan Mahkamah Agung, putusan Pengadilan
Tinggi, putusan Pengadilan Negeri, atau putusan badan peradilan lainnya
(
Pemikiran Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH yang dikutip dari www.jimly.com )
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !